Indonesian Retail Talk
Monday, July 8, 2019
Thursday, February 26, 2015
THE BUYERS
Saya bersyukur karena menjadi salah
seorang yang beruntung, dapat belajar kepada orang-orang yang kompeten dalam
bidang pembelian khususnya industri ritel. Tidak ada manusia yang sempurna,
oleh karenanya penting bagi setiap orang untuk tidak sombong. Karena
kesombongan terkadang menutup kebenaran dan mengurangi kemampuan belajar
seseorang. Sebaliknya rasa rendah hati dan keterbukaan, akan membantu hati dan
otak kita untuk memperoleh banyak pengetahuan baru dari orang lain.
Dalam industri ritel, salah satu area
yang sangat strategis di dalam aspek komersial adalah Merchandising. Secara
umum Merchandising bisa dikatakan sebagai sebuah aktivitas penyediaan dan
pengelolaan barang yang dijual dari segala aspeknya. Aspek yang minimal, cukup
popular dengan istilah 5P yaitu meliputi: P1 (product) barang yang tepat; P2 (price)
harga yang tepat; P3 (presentation)
pemajangan yang baik; P4 (purchase)
pengadaan yang baik; P5 (promotion)
promosi yang efektif.
Karena pengelolaan barang bagi peritel
merupakan bagian dari investasi, maka sangatlah penting untuk menciptakan
keseimbangan dalam unsur-unsur: Pemilihan barang serta vendor yang tepat,
jumlah pembelian dan inventory, tingkat penjualan dan margin yang diperoleh.
Oleh karena proses ini sangat kompleks, detail dan membutuhkan kerjasama
multidisiplin yang kuat, maka setiap peritel bisa dipastikan membangun tim
merchandising sebagai bagian dari tim commercialnya (selain Divisi Operational
dan Marketing yang ada didalamnya)
Ada beberapa istilah yang berbeda yang
digunakan oleh para peritel bagi orang-orang yang ditunjuk dan bertanggung
jawab atas kegiatan merchandising ini. Beberapa peritel menggunakan istilah
Buyer, dan sebagian lainnya banyak yang menggunakan istilah Category Manager.
Secara umum tugas dan fungsinya sebenarnya bisa dikatakan sama. Setiap buyer
atau category manager terbagi ke dalam grup-grup produk yang sudah ditentukan
sesuai dengan kebijakan atau format bisnis ritelnya. Jenis pengelompokan dan
jumlah kategori per orangnya biasanya tidak sama, akan tetapi memiliki
kemiripan satu dengan yang lain.
Khusus dalam lanjutan tulisan saya ini, saya lebih suka menggunakan istilah Buyer (Manajer Pembelian). Walau makna harfiah nya cukup sempit dan spesifik, akan tetapi dalam praktek bisnis ritel yang saya pahami dan alami, peran dan aktivitasnya sangat besar dan kompleks, serta tentunya berpengaruh luas terhadap kegiatan komersial di perusahaan.
Dalam tulisan ini saya mencoba menuangkan
sebagian pemikiran dan pengalaman saya sebagai Buyer selama lebih dari 7
(tujuh) tahun di salah satu peritel yang bergerak di format Supermarket.
Pengalaman ini begitu berkesan karena saya belajar banyak hal terkait bisnis
ritel, proses pemilihan barang, pengelolaan produk, penentuan harga, pemajangan
produk, serta menjalin kerjasama bisnis dengan berbagai pihak supplier. Di dua
tahun terakhir saya memiliki kesempatan berharga terlibat penuh dalam
development produk-produk private brand.
Melalui interaksi saya yang sangat
dalam dan panjang dengan senior-senior professional Buyer, telah memberikan
nilai lebih yang cukup banyak buat saya. Saya belajar banyak bukan hanya dari
sisi pengetahuan dan pengalaman mereka, akan tetapi lebih dari itu, ada
karakter dan gaya yang unik atau khas dapat dipelajari dari masing-masing
Buyer. Saya menilai tidak ada benar-salah dari perbedaan tersebut, karena
masing-masing memiliki daya kekuatannya tersendiri. Kita bisa kombinasikan
style dan pendekatan (approach) mereka yang beragam dalam banyak hal.
Dari pengalaman dan pembelajaran
tersebut, saya mencoba merangkum dan berbagi beberapa prinsip dasar yang akan sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang profesional Buyer ritel/manajer pembelian, yaitu sbb:
1. Integritas.
2. Wawasan Luas.
3. Fleksibilitas (Luwes)
4. Kemampuan pengelolaan dan analisa Data.
5. Kemampuan Komunikasi dan Presentasi.
1. Integritas.
Saya menempatkan Integritas ini di
tempat pertama, karena keyakinan saya bahwa value dari unsur ini sangat tidak
ternilai dan merupakan fondasi. Integritas sangat penting untuk menciptakan
kepercayaan yang kuat baik secara internal maupun eksternal. Kita harus
menciptakan karakter dan pola fikir yang obyektif dan transparan. Perspektif
kerja kita adalah memberikan keuntungan yang maksimal untuk perusahaan, tanpa
ada agenda Pribadi memanfaatkan keuntungan posisi kita sebagai Buyer.
Biasanya posisi Buyer sangat vital,
karena ia merupakan perwakilan perusahaan untuk melakukan aktivitas pemilihan
barang dan vendor. Selain itu kegiatan pembelian, di wilayah manapun selalu
kaya akan privilage (keistimewaan tertentu) dan rawan akan tawaran benefit
tertentu dari para penjual/supplier. Disinilah pentingnya posisi kita yang
harus taat terhadap aturan perusahaan terkait masalah hubungan pembeli dan
penjual ini.
Tidak jarang para professional
terjebak pada kondisi atau tawaran tersebut. Tapi biasanya dalam organisasi
ritel yang sudah mapan, segalanya diatur dalam bentuk aturan dan kode etik,
serta sanksi yang tegas. Transparansi dan integritas
Buyer akan menaikan
reputasi perusahaan dan memperkuat kwalitas negosiasi setiap Buyer.
Selain aspek tranparansi, integritas
menunjukan kemampuan kita untuk menciptakan komitmen bersama. Dalam proses
negosiasi, Buyer dengan mitra supplier, maka diperlukan sebuah komitmen bersama
untuk menjalankan setiap kesepakatan. Tidak sedikit karena minimnya integritas,
tujuan dari negosiasi tidak tercapai, dan berakhir dengan retaknya hubungan
bisnis.
Ciri-ciri Buyer yang memiliki
integritas, tercermin dari beberapa sikap yang menonjol
a.
Selalu mengedepankan objektif dari perusahaan, bukan pribadinya sebagai Buyer.
b.
Menuliskan setiap kesepakatan, dan menjelaskan setiap komitmen kedua pihak
secara jelas dan detail.
c.
Tidak meminta imbalan Pribadi, dan seluruh potensi keuntungan akan dia gali
untuk kemajuan perusahaan.
d.
Bertindak dan bernegosiasi berlandaskan kode etik perusahaan dimana dia
bekerja.
2. Berwawasan Luas.
Kegiatan utama dari Setiap pembeli (Buyer) dalam industri ritel tentunya tidak
bisa dilepaskan dari kegiatan analisa data penjualan dan keuntungan, memilih
produk, menentukan harga, survey market, serta negosiasi dengan pihak vendor.
Oleh karena itu diperlukan sinergi kemampuan analisa data yang kuat dan wawasan
tentang dunia bisnis ritel serta industri secara umum. Wawasan seorang Buyer
harus senantiasa terupdate dan di atas rata-rata. Setiap Buyer harus punya
interest yang kuat terhadap informasi perkembangan bisnis dan segala
dinamikanya. Dia akan gunakan wawasan tersebut untuk mengembangkan ide dan
menangkap peluang di pasar, demi peningkatan penjualan serta marjin keuntungan
semua produknya.
Selain untuk kebutuhan analisa
Pribadi, seperti halnya peran seorang salesman dalam dunia marketing, untuk
meyakinkan mitra dari pihak supplier maupun konsumen, Buyer menggunakan
informasi dan wawasan tersebut sebagai alat/strategi negosiasi yang meyakinkan.
Karena untuk meyakinkan orang tidak cukup dengan bahasa keuntungan peritel.
Terkadang dengan informasi yang berkembang di luar, kita dapat meyakinkan lawan
negosiasi kita untuk mengikuti saran ataupun masukan yang akhirnya memberikan
peluang keuntungan kedua belah pihak.
Sebagai contoh beberapa pertanyaan
yang relevan untuk menguji wawasan Buyer:
a.
Bagaimana pengetahuan kita terhadap dinamika market dan kompetisi?
b.
Bagaimana pengaruh regulasi pemerintah terhadap kelangsungan bisnis perusahaan
anda?
c.
Trend produk baru apa saja yang sedang booming di pasaran? Tahukah kita
strategi atau kunci sukses mereka?
d.
Tahukah anda situasi makro ekonomi secara lokal/nasional maupun dunia yang
dapat mempengarui bisnis anda? (Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, Nilai tukar mata
uang, perkembangan harga produk, upah minimum, sewa property, dll)
3. Fleksibilitas
Prinsipnya sebagai Buyer harus
memiliki orientasi pada solusi bisnis yang saling menguntungkan. Karena kondisi
tersebut akan memberikan dampak positif bagi perkembangan penjualan. Dalam
konteks negosiasi dan segala praktek kerjasama bisnis diperlukan fleksibilitas
atau keluwesan dalam mencari solusi-solusi tersebut.
Dalam pengalaman saya di awal karir
sebagai seorang Buyer Supermarket, sikap fleksibel/luwes ini begitu terasa diperlukan. Terutama dalam
proses negosiasi dengan posisi tawar yang rendah. Biasanya kondisi ini terjadi
dikarenakan beberapa hal dapat menjadi contoh:
1.
Principle besar
2.
Lawan Negosiasi yang lebih senior
3.
Kebijakan perusahaan yang kaku.
4.
Tenggat waktu negosiasi yang sempit.
4. Kemampuan Analisa dan pengelolaan Data.
Data merupakan senjata utama bagi seorang
Buyer. Dengan menguasai Data maka kita akan mengetahui posisi awal negosiasi,
subject negosiasi, dan proyeksi output atau target dari negosiasi yang akan
kita lakukan. Buyer yang datang ke dalam sebuah meeting tanpa membuat data dan
menguasainya, ibaratkan seorang prajurit masuk ke medan perang dengan lengan
kosong. Ia akan menjadi santapan lawan negosiasinya.
Keinginan dan passion seorang Buyer
terhadap data haruslan tinggi. Ibaratkan seorang montir, dia harus siap
tangannya kotor dengan oli atau kotoran pada mesin. Begitu juga seorang Buyer
yang tugas utamanya mengelola hubungan bisnis yang penuh dengan kegiatan
negosiasi. Membuat dan menganalisa data menjadi satu kunci utama untuk bisa
sukses. Secara ekstrem saya menganjurkan kepada semua yang ingin menjadi Buyer,
agar “mencintai data”.
Beberapa perusahaan memang sudah
memiliki database yang mumpuni, sehingga Buyer atau tim komersial lain
dimanjakan dengan berbagai data yang dibutuhk2 pokok, sudah bisa dikumpulkan
dan disusun secaran. Bahkan dataAkan tetapi masih cukup banyak yang mandiri
oleh Buyer nya sesuai dengan format yang diinginkan.
Data-data yang biasanya secara umum
diperlukan oleh seorang Buyer diantaranya adalah:
1.
Trend pembelian (quantity dan value)
2.
Service level pengiriman barang
3.
Daftar produk existing
4.
Trend penjualan (quantity dan value)
5.
Penggunaan/Rencana alokasi dana promosi.
6.
market share
7. Permasalahan lainnya.
Selain pengelolaan data, yang juga
tidak kalah pentingnya adalah mengasah kemampuan analisa data. Data ditangan
seorang yang tak mampu, tidak akan berarti apa-apa. Kemampuan menganalisa ini
memang tidak akan muncul dengan sendirinya. Tapi ada proses yang panjang, tapi
dengan keseriusan dan ketekunan dalam menyusun dan mendiskusikan aneka konklusi dari
beragam data yang dimiliki maka setiap orang pasti akan terbiasa. Makanya ada
istilah “data harus berbicara”. Seorang Buyer menggunakan data-data tersebut
untuk mempengaruhi lawan negosiasi agar mencapai kesepakatan tertentu. Yang
akhirnya tentunya tetap pada koridor kepentingan bisnis bersama.
5. Kemampuan Komunikasi dan Presentasi.
Dalam seleksi awal seseorang untuk
menjadi seorang Buyer, kemampuan komunikasi yang baik menjadi salah satu syarat
mutlak yang harus dimiliki. Seseorang yang cenderung bekerja sendiri dan tidak
terlalu menyukai interaksi yang intens dengan pihak lain tidak cocok menjadi
seorang Buyer. Kemampuan komunikasi ini bisa merupakan interpersonal skill.
Umumnya karakter seorang Buyer itu
sangat aktif, penuh inisatif, banyak ide dan gagasan, suka bertanya dan senang
meyakinkan lawan bicaranya (cenderng agresif). Istilah yang agak berlebih,
mungkin adalah seringkali “tidak tahu malu” dalam bernegosiasi. Lawan yang
sepadan dengan profesi ini adalah Salesman, yang tidak punya malu dan tak lelah
menawarkan barang dagangannya. Walaupun ada, sangat jarang menemukan Buyer itu
seorang pendiam dan pasif.
Secara sederhana saya suka
ilustrasikan jika seorang pembeli datang ke suatu pasar, untuk membeli sesuatu,
pastinya ia harus siap untuk bertanya dan menawar. Ia harus siap dibenci
penjual dan terkadang muncul konflik tertentu yang kurang memberikan rasa
nyaman.Tapi itu sudah biasa dalam dunia negosiasi. Tanpa melalui cara berbicara
yang baik dan tepat, pembeli tidak akan mendapatkan barang yang baik, harga
yang bagus dan kompensasi lainnya dari si penjual.
Selain kemampuan komunikasi, seorang
Buyer juga harus memiliki kemampuan presentasi yang baik. Ia harus mampu
menjelaskan tujuan dan keinginannya dalam berbagai kesempatan, baik kepada
pihak eksternal maupun internal. Dalam presentasi terkandung data, program,
target dan berbagai rencana. Semua serba terstruktur. Ini sangat penting,
karena tidak sedikit Buyer-buyer kalah canggih presentasinya dibandingkan
manajer2 dari lawan negosiasinya yaitu para Sales Manajer/Key Account Manager.
Alangah lebih baiknya Buyer yang akan mengarahkan segala program yang
diperlukan, karena dalam hal ini peritel lebih tahu kondisi konsumennya
dibanding para supplier.
Sunday, June 9, 2013
Who are your Customers?
Banyak orang yang terjebak pada situasi apakah lebih baik memulai bisnis terlebih dahulu? Atau lebih afdol menentukan target konsumen terlebih dahulu. Dimana pada akhirnya bisa terjadi dua kemungkinan. Anda tidak memulai bisnis anda? atau anda memulai bisnis anda tanpa target konsumen yang jelas.
Daripada kita tidak beranjak dari titik yang kurang menguntungkan tersebut, dimanapun kondisi kita, sudah memulai bisnis, atau akan memulai bisnis, alangkah baiknya berbagi tentang pentingnya menentukan target konsumen anda.
Secara sederhana sebenarnya hal ini sudah dilakukan oleh banyak orang tanpa ada teori baku yang menyertainya. Contoh sederhana adalah: banyaknya orang membuka kios tambal ban di jalan raya yang memiliki kepadatan lalu lintas tinggi dan kondisi jalan yang rusak. Target konsumennya adalah pengendara motor/mobil. Atau contoh sederhana lain adalah: banyaknya kios warteg (warung nasi) di area-area dekat kampus. Target konsumennya tentunya adalah mahasiswa atau penghuni kampus yang lain yang membutuhkan makan murah misalnya.
Akan tetapi lain ceritanya jika kita bicara dalam tataran bisnis yang sudah besar volume dan valuenya dan tentunya lebih kompleks aspek operationalnya. Apalagi bisnis besar yang memiliki skala kompetisi yang tinggi, serta banyak pesaing dan berbagai regulasi yang mengatur, bahkan membatasi gerak langkah ekspansi yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu strategi yang lebih tersetruktur untuk dapat meningkatkan angka penjualan, menambah konsumen loyal dan tentunya memenangkan persaingan.
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan sbb:
1) Tentukan Konsumen Base anda. Beberapa kriteria yang bisa anda ujikan/tanyakan seperti: Apakah konsumen ideal anda adalah lelaki/wanita?; Berapa kisaran usia ideal membutuhkan produk/jasa anda?; Apakah mayoritas pekerjaan mereka, apakah cocok dengan produk yang kita tawarkan/tidak?
2) Tentukan Kebutuhan Utama mereka. Perlu dibuatkan sebuah scoring method yang sederhanayang memberikan alternatif kebutuhan prioritas mereka: apakah makanan/minuman? Fashion? Produk Layanan Kesehatan? Asuransi? atau jasa lainnya? Dari sini kita dapat menentukan skala prioritas sesuai bobot setiap kebutuhan yang mereka inginkan.
3) Tentukan Frekuensi Kebutuhan mereka. Dari list kebutuhan yang anda dapatkan, apakah mereka memerlukan sesuatu yang bersifat rutin harian/mingguan/bulanan?. Atau mereka akan membutuhkan produk anda sekali dalam setahun atau bahkan seumur hidup? Dengan demikian anda yakin seberapa besar market yang akan anda ciptakan dalam bisnis ini.
4) Tentukan Media yang tepat & cepat. Setelah mengenali siapa konsumen utama dan apa yang mereka butuhkan, kita perlu menentukan media yang tepat yang dapat segera memberikan informasi setepat dan secepat mungkin. Fokus pada produk/jasa yang kita tawarkan, dan ciptakan media2 yang nyaman untuk mereka akses. Apakah media informasi online (Social Media), atau melalui komunikasi langsung di outlet.
5) Ciptakan Feedback. Ini adalah bagian penting yang harus selalu ada, untuk mengukur sejauh mana strategi dan pendekatan yang kita lakukan dapat secara efektif menyentuh kebutuhan konsumen kita. Bisa melalui metode quisioner, atau sekarang cukup populer adalah: FGD (Focus Group Discussion). Yaitu dengan mengundang sekelompok konsumen yang memiliki ciri/profile berbeda, kemudian memberikan topik-topik diskusi terkait dengan produk, pelayanan dan persepsi konsumen terhadap produk anda. Tujuannya adalah untuk menguji dan mengeksplorasi harapan dan kebutuhan konsumen atas produk/jasa yang kita berikan.
Daripada kita tidak beranjak dari titik yang kurang menguntungkan tersebut, dimanapun kondisi kita, sudah memulai bisnis, atau akan memulai bisnis, alangkah baiknya berbagi tentang pentingnya menentukan target konsumen anda.
Secara sederhana sebenarnya hal ini sudah dilakukan oleh banyak orang tanpa ada teori baku yang menyertainya. Contoh sederhana adalah: banyaknya orang membuka kios tambal ban di jalan raya yang memiliki kepadatan lalu lintas tinggi dan kondisi jalan yang rusak. Target konsumennya adalah pengendara motor/mobil. Atau contoh sederhana lain adalah: banyaknya kios warteg (warung nasi) di area-area dekat kampus. Target konsumennya tentunya adalah mahasiswa atau penghuni kampus yang lain yang membutuhkan makan murah misalnya.
Akan tetapi lain ceritanya jika kita bicara dalam tataran bisnis yang sudah besar volume dan valuenya dan tentunya lebih kompleks aspek operationalnya. Apalagi bisnis besar yang memiliki skala kompetisi yang tinggi, serta banyak pesaing dan berbagai regulasi yang mengatur, bahkan membatasi gerak langkah ekspansi yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu strategi yang lebih tersetruktur untuk dapat meningkatkan angka penjualan, menambah konsumen loyal dan tentunya memenangkan persaingan.
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan sbb:
1) Tentukan Konsumen Base anda. Beberapa kriteria yang bisa anda ujikan/tanyakan seperti: Apakah konsumen ideal anda adalah lelaki/wanita?; Berapa kisaran usia ideal membutuhkan produk/jasa anda?; Apakah mayoritas pekerjaan mereka, apakah cocok dengan produk yang kita tawarkan/tidak?
2) Tentukan Kebutuhan Utama mereka. Perlu dibuatkan sebuah scoring method yang sederhanayang memberikan alternatif kebutuhan prioritas mereka: apakah makanan/minuman? Fashion? Produk Layanan Kesehatan? Asuransi? atau jasa lainnya? Dari sini kita dapat menentukan skala prioritas sesuai bobot setiap kebutuhan yang mereka inginkan.
3) Tentukan Frekuensi Kebutuhan mereka. Dari list kebutuhan yang anda dapatkan, apakah mereka memerlukan sesuatu yang bersifat rutin harian/mingguan/bulanan?. Atau mereka akan membutuhkan produk anda sekali dalam setahun atau bahkan seumur hidup? Dengan demikian anda yakin seberapa besar market yang akan anda ciptakan dalam bisnis ini.
4) Tentukan Media yang tepat & cepat. Setelah mengenali siapa konsumen utama dan apa yang mereka butuhkan, kita perlu menentukan media yang tepat yang dapat segera memberikan informasi setepat dan secepat mungkin. Fokus pada produk/jasa yang kita tawarkan, dan ciptakan media2 yang nyaman untuk mereka akses. Apakah media informasi online (Social Media), atau melalui komunikasi langsung di outlet.
5) Ciptakan Feedback. Ini adalah bagian penting yang harus selalu ada, untuk mengukur sejauh mana strategi dan pendekatan yang kita lakukan dapat secara efektif menyentuh kebutuhan konsumen kita. Bisa melalui metode quisioner, atau sekarang cukup populer adalah: FGD (Focus Group Discussion). Yaitu dengan mengundang sekelompok konsumen yang memiliki ciri/profile berbeda, kemudian memberikan topik-topik diskusi terkait dengan produk, pelayanan dan persepsi konsumen terhadap produk anda. Tujuannya adalah untuk menguji dan mengeksplorasi harapan dan kebutuhan konsumen atas produk/jasa yang kita berikan.
Monday, November 9, 2009
Optimisme melewati 2009
Hari ini saya mengikuti presentasi review penjualan ritel selama fasting season (Seasonal puasa lebaran) di tahun 2009 yang disampaikan oleh AC Nielsen.
Ada hal yang menarik bahwa secara umum pertumbuhan bisnis ritel di tahun 2009 (year to date), merupakan yang terburuk selama 7 tahun terakhir, yaitu mencapai single digit +/- 8% saja. Jika di tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan selalu mencapai double digit.
Kategori produk yang menjadi sorotan utama dalam presentasi tersebut tentunya adalah produk seasonal groseries yaitu syrup, biskuit dan sedikit pembahasan di kategori non food.
Untuk produk biskuit dan syrup secara umum juga mengalami penurunan dalam persen pertumbuhannya dibandingkan dengan pertumbuhannya di tahun lalu.
Ada point menarik yang disampaikan selain review mengenai performance ritel pada saat seasonal. Diantaranya adalah market update dan informasi trend konsumen di akhir 2009 dan menghadapi 2010.
Didasari oleh semakin tingginya pertumbuhan konsumen produk lifestyle dan gadget teknologi, maka Nielsen merekomendasikan ritel untuk menangkap momentum tersebut untuk bersiap menawarkan konsep yang berbeda untuk konsumen. Peritel harus dapat menyentuh seluruh media yang selalu digunakan banyak orang saat ini yang dapat dibilang bergantung pada 3 screen: their Tv, their laptop/desktop, and their mobile untuk dapat memasarkan brand mereka.
Kekuatan brand kita akan sangat bergantung dengan bagaimana kita mengadaptasi diri kita terhadap perubahan preferasi konsumen dari basic needs oriented menjadi yang lebih high end secondary items.
Kemudian Nielsen juga menggaris bawahi bahwa penting bagi peritel untuk memperkuat diferensiasi diantara kompetisi yang ada. Konsumen tidak hanya membutuhkan harga yang murah atas minyak goreng, telur, beras, gula, daging dll. Akan tetapi konsumen akan mulai mencoba merubah pola belanja kepada produk secondary item, lifestyle, trend, gadget, technology, fashion,
Berdasarkan estimasi para pelaku ritel sulit diharapkan bisnis di tahun 2009 bisa ditutup dengan persen pertumbuhan diatas 10%. Mungkin semua pemain ritel harus puas diangka single digit di tahun ini, dengan berharap pada ekspansi yang agresif di tahun depan.
Dan merujuk pada global review, setidaknya indonesia masih diharapkan sebagai salah satu negara yang menjanjikan untuk investasi di tahun 2010, setelah China dan India. Dan menurut pemaparan Nielsen beberapa pemain ritel sudah memberikan sinyal akan adanya ekspansi yang cukup optimis di tahun depan. Apakah ini pertanda baik untuk kita semua, kita akan lihat tidak lama lagi.
Ada hal yang menarik bahwa secara umum pertumbuhan bisnis ritel di tahun 2009 (year to date), merupakan yang terburuk selama 7 tahun terakhir, yaitu mencapai single digit +/- 8% saja. Jika di tahun-tahun sebelumnya pertumbuhan selalu mencapai double digit.
Kategori produk yang menjadi sorotan utama dalam presentasi tersebut tentunya adalah produk seasonal groseries yaitu syrup, biskuit dan sedikit pembahasan di kategori non food.
Untuk produk biskuit dan syrup secara umum juga mengalami penurunan dalam persen pertumbuhannya dibandingkan dengan pertumbuhannya di tahun lalu.
Ada point menarik yang disampaikan selain review mengenai performance ritel pada saat seasonal. Diantaranya adalah market update dan informasi trend konsumen di akhir 2009 dan menghadapi 2010.
Didasari oleh semakin tingginya pertumbuhan konsumen produk lifestyle dan gadget teknologi, maka Nielsen merekomendasikan ritel untuk menangkap momentum tersebut untuk bersiap menawarkan konsep yang berbeda untuk konsumen. Peritel harus dapat menyentuh seluruh media yang selalu digunakan banyak orang saat ini yang dapat dibilang bergantung pada 3 screen: their Tv, their laptop/desktop, and their mobile untuk dapat memasarkan brand mereka.
Kekuatan brand kita akan sangat bergantung dengan bagaimana kita mengadaptasi diri kita terhadap perubahan preferasi konsumen dari basic needs oriented menjadi yang lebih high end secondary items.
Kemudian Nielsen juga menggaris bawahi bahwa penting bagi peritel untuk memperkuat diferensiasi diantara kompetisi yang ada. Konsumen tidak hanya membutuhkan harga yang murah atas minyak goreng, telur, beras, gula, daging dll. Akan tetapi konsumen akan mulai mencoba merubah pola belanja kepada produk secondary item, lifestyle, trend, gadget, technology, fashion,
Berdasarkan estimasi para pelaku ritel sulit diharapkan bisnis di tahun 2009 bisa ditutup dengan persen pertumbuhan diatas 10%. Mungkin semua pemain ritel harus puas diangka single digit di tahun ini, dengan berharap pada ekspansi yang agresif di tahun depan.
Dan merujuk pada global review, setidaknya indonesia masih diharapkan sebagai salah satu negara yang menjanjikan untuk investasi di tahun 2010, setelah China dan India. Dan menurut pemaparan Nielsen beberapa pemain ritel sudah memberikan sinyal akan adanya ekspansi yang cukup optimis di tahun depan. Apakah ini pertanda baik untuk kita semua, kita akan lihat tidak lama lagi.
Tuesday, October 27, 2009
Peta kekuatan bisnis ritel di Indonesia
Persaingan di bisnis ritel modern saat ini berlangsung dengan sangat ketat. Menurut Mediadata disebutkan bahwa "perkembangan bisnis ritel modern ini ditunjukan dari segi omzet yang masih tumbuh secara nyata yakni dari sekitar Rp 42 triliun pada tahun 2005, meningkat menjadi sekitar Rp 58 triliun pada tahun 2007 dan tahun 2008 sudah mencapai sekitar Rp 67 triliun.
Peningkatan nilai omzet beberapa tahun terakhir ini, terutama didorong semakin maraknya pembukaam outlet gerai baru hypermarket dan minimarket. Misalnya, peritel asing hypermarket, Carrefour dalam waktu singkat telah berhasil mengepung potensi pasar ritel di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, dengan kepemilikan gerai hingga akhir tahun 2008 sebanyak 70 unit.
Bagaimana sebenarnya peta persaingan bisnis ritel yang ada di Indonesia. Siapakah pemain utama yang bersaing di dalamnya, baik itu dari lokal maupun jaringan ritel global. Berikut ini dipaparkan profile singkat dari para pemain ritel besar di indonesia:
1. Carrefour
Carrefour merupakan jaringan hypermarket terbesar jika melihat format ukuran gerainya, dan merupakan jaringa ritel global terbesar ketiga setelah Wallmart dan Tesco dari sisi sales dan profitnya. Carrefour berasal dari Perancis dan banyak beroperasi di Eropa, China, Colombia, Brazil, dan beberapa bagian negara Asia.
Toko pertama carrefour berdiri pada tahun 1957 di Perancis, dan memperkenalkan konsep Hypermarket untuk pertama kali pada tahun 1967, yaitu menggabungkan pasar swalayan dengan department store dalam satu atap. Kekuatan Carrefour di Asia ditunjang oleh keberadaan banyak gerainya di negara-negara berikut: China (134 gerai), Indonesia (75 gerai), Taiwan (48 gerai), Thailand (25 gerai), dan Malaysia (12 gerai). Kemudian ditambah dengan ekspansi ke wilayah Timur Tengah yaitu Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab masing-maing 11 gerai.
Di Indonesia Carrefour mengakuisisi Supermarket Alfa sebanyak 14 gerai ditahun 2007. Akan tetapi belum nampak konsep yang jelas dan kuat, yang bisa Carrefour lakukan untuk gerai-gerai Alfa yang mereka akuisisi. Proses akuisisi ini sendiri menuai banyak pro dan kontra, terkait dengan potensi monopoli yang semakin kuat dan dominan di pangsa pasar modern ritel , yang mana saat ini ditangani oleh KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha).
Selain itu Carrefour merupakan perusahaan asing pertama dengan revenue terbesar yang eksis di Indonesia. Selain karena merupakan Hypermarket pertama dan selalu leading dalam inovasi dan system promosi dibandingkan para pemain lainnya dalam kelas yang sejenis.
Peningkatan nilai omzet beberapa tahun terakhir ini, terutama didorong semakin maraknya pembukaam outlet gerai baru hypermarket dan minimarket. Misalnya, peritel asing hypermarket, Carrefour dalam waktu singkat telah berhasil mengepung potensi pasar ritel di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, dengan kepemilikan gerai hingga akhir tahun 2008 sebanyak 70 unit.
Bagaimana sebenarnya peta persaingan bisnis ritel yang ada di Indonesia. Siapakah pemain utama yang bersaing di dalamnya, baik itu dari lokal maupun jaringan ritel global. Berikut ini dipaparkan profile singkat dari para pemain ritel besar di indonesia:
1. Carrefour
Carrefour merupakan jaringan hypermarket terbesar jika melihat format ukuran gerainya, dan merupakan jaringa ritel global terbesar ketiga setelah Wallmart dan Tesco dari sisi sales dan profitnya. Carrefour berasal dari Perancis dan banyak beroperasi di Eropa, China, Colombia, Brazil, dan beberapa bagian negara Asia.
Toko pertama carrefour berdiri pada tahun 1957 di Perancis, dan memperkenalkan konsep Hypermarket untuk pertama kali pada tahun 1967, yaitu menggabungkan pasar swalayan dengan department store dalam satu atap. Kekuatan Carrefour di Asia ditunjang oleh keberadaan banyak gerainya di negara-negara berikut: China (134 gerai), Indonesia (75 gerai), Taiwan (48 gerai), Thailand (25 gerai), dan Malaysia (12 gerai). Kemudian ditambah dengan ekspansi ke wilayah Timur Tengah yaitu Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab masing-maing 11 gerai.
Di Indonesia Carrefour mengakuisisi Supermarket Alfa sebanyak 14 gerai ditahun 2007. Akan tetapi belum nampak konsep yang jelas dan kuat, yang bisa Carrefour lakukan untuk gerai-gerai Alfa yang mereka akuisisi. Proses akuisisi ini sendiri menuai banyak pro dan kontra, terkait dengan potensi monopoli yang semakin kuat dan dominan di pangsa pasar modern ritel , yang mana saat ini ditangani oleh KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha).
Selain itu Carrefour merupakan perusahaan asing pertama dengan revenue terbesar yang eksis di Indonesia. Selain karena merupakan Hypermarket pertama dan selalu leading dalam inovasi dan system promosi dibandingkan para pemain lainnya dalam kelas yang sejenis.
Thursday, October 22, 2009
Strategi Ritel: Top 5 untuk menang
Dalam kurun waktu 5 tahun ini, persaingan dalam bisnis ritel modern di Indonesia berlangsung sangat ketat. Apalagi dengan semakin maraknya peritel asing yang punya kekuatan modal dan strategi global yang cukup besar dan menjanjikan. Jika melihat peta persaingan yang ada saat ini, semua peritel bisa berkompetisi secara lintas format. Dengan berbagai promosi dan strategi pemasaran diharapkan dapat menambah jumlah pelanggan dan meningkatkan turnobver penjualan.
Ada 5 strategi yang sedang menjadi trend dalam memenangkan kompetisi bisnis ritel di Indonesia yaitu:
1. Kreatifitas dalam Promosi:
Sudah menjadi kaidah umum dalam semua jenis bisnis bahwa promosi merupakan senjata utama untuk menggaet konsumen. Jika kompetisi itu diibaratkan peperangan maka setiap peritel dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan senjatanya. Semakin canggih senjata, maka kemungkinan besar kita memenangkan kompetisi akan semakin besar.
Promosi harga diprediksi akan tetap menjadi pilihan utama. Hanya saja formatnya bisa berubah dari mulai potongan langsung dalam bentuk potongan rupiah, atau bisa dalam bentuk discount yang menarik. Tahun 2005-2007 masih banyak peritel menggunakan potongan harga coret yang menarik buat konsumen. Akan tetapi mulai tahun 2008 mulai berubah yaitu berupa potongan Rp. 1000, Rp. 5000, Rp. 10.000,- untuk setiap pembelian 1 unit barang. Selain itu pada tahun yang sama muncul fenomena promosi trade up Buy One get one free, atau Buy Two get one free. Jika dilihat sepeertinya cara pertama lebih efektif untuk peritel maupun konsumen, karena konsumen terkadang tidak memerlukan penggandaan dari kebutuhannya.
Yang lebih menarik di tahun 2009 ini banyak peritel yang memulai konsep discount 10%, 20%, 30% potongan untuk kategory produk tertentu. Mencoba mengadopsi konsep discount yang biasa ditawarkan di Department store.
2. Optimalisasi Teknologi
Untuk menunjang seluruh operasi ritel dibutuhkan teknologi yang terbaik. Dalam bisnis ritel di masa yang akan datang teknologi akan terfokus setidaknya pada beberapa aspek yaitu: manajemen inventori, kerapihan distribusi, database konsumen, dan mendukung inovasi dalam promosi.
Sebagai contoh, dalam manajemen inventori, perusahaanritel memerlukan teknologi untuk memastikan proses recieve dan turnover barang berjalan dengan seimbang dan efisien. Kelebihan stock barang di gudang berarti menciptakan potensi deadstock, bahkan manambah resiko damage product (waste) untuk produk fresh (buah, sayur, daging dan ikan). Dengan teknologi yang dimiliki, peritel dapat memperoleh data stock barang dan potensi jual setiap barang, dan akhirnya merekomendasikan jumlah ordr berikutnya secara tepat.
Untuk database konsumen saat ini sudah dijalankan oleh banyak peritel, dengan mengeluarkan kartu anggota/konsumen (member card) seperti yang telah dijalankan di Carrefour, Giant, Indomart, Alfamart, Matahari bahkan pemain lokal seperti Yogya/Griya di Bandung. Keuntungannya selain mampu membuat pemetaan customer, dapat juga digunakan untuk mempertahankan loyalitas konsumen dengan aneka jenis promosi membership.
Ada 5 strategi yang sedang menjadi trend dalam memenangkan kompetisi bisnis ritel di Indonesia yaitu:
1. Kreatifitas dalam Promosi:
Sudah menjadi kaidah umum dalam semua jenis bisnis bahwa promosi merupakan senjata utama untuk menggaet konsumen. Jika kompetisi itu diibaratkan peperangan maka setiap peritel dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan senjatanya. Semakin canggih senjata, maka kemungkinan besar kita memenangkan kompetisi akan semakin besar.
Promosi harga diprediksi akan tetap menjadi pilihan utama. Hanya saja formatnya bisa berubah dari mulai potongan langsung dalam bentuk potongan rupiah, atau bisa dalam bentuk discount yang menarik. Tahun 2005-2007 masih banyak peritel menggunakan potongan harga coret yang menarik buat konsumen. Akan tetapi mulai tahun 2008 mulai berubah yaitu berupa potongan Rp. 1000, Rp. 5000, Rp. 10.000,- untuk setiap pembelian 1 unit barang. Selain itu pada tahun yang sama muncul fenomena promosi trade up Buy One get one free, atau Buy Two get one free. Jika dilihat sepeertinya cara pertama lebih efektif untuk peritel maupun konsumen, karena konsumen terkadang tidak memerlukan penggandaan dari kebutuhannya.
Yang lebih menarik di tahun 2009 ini banyak peritel yang memulai konsep discount 10%, 20%, 30% potongan untuk kategory produk tertentu. Mencoba mengadopsi konsep discount yang biasa ditawarkan di Department store.
2. Optimalisasi Teknologi
Untuk menunjang seluruh operasi ritel dibutuhkan teknologi yang terbaik. Dalam bisnis ritel di masa yang akan datang teknologi akan terfokus setidaknya pada beberapa aspek yaitu: manajemen inventori, kerapihan distribusi, database konsumen, dan mendukung inovasi dalam promosi.
Sebagai contoh, dalam manajemen inventori, perusahaanritel memerlukan teknologi untuk memastikan proses recieve dan turnover barang berjalan dengan seimbang dan efisien. Kelebihan stock barang di gudang berarti menciptakan potensi deadstock, bahkan manambah resiko damage product (waste) untuk produk fresh (buah, sayur, daging dan ikan). Dengan teknologi yang dimiliki, peritel dapat memperoleh data stock barang dan potensi jual setiap barang, dan akhirnya merekomendasikan jumlah ordr berikutnya secara tepat.
Untuk database konsumen saat ini sudah dijalankan oleh banyak peritel, dengan mengeluarkan kartu anggota/konsumen (member card) seperti yang telah dijalankan di Carrefour, Giant, Indomart, Alfamart, Matahari bahkan pemain lokal seperti Yogya/Griya di Bandung. Keuntungannya selain mampu membuat pemetaan customer, dapat juga digunakan untuk mempertahankan loyalitas konsumen dengan aneka jenis promosi membership.
Bisnis Ritel Modern Indonesia
Bisnis Ritel secara umum adalah kegiatan usaha menjual aneka barang atau jasa untuk konsumsi langsung atau tidak langsung. Dalam matarantai perdagangan bisnis ritel merupakan bagian terakhir dari proses distribusi suatu barang atau jasa dan bersentuhan langsung dengan konsumen.
Secara umum peritel tidak membuat barang dan tidak menjual ke pengecer lain.
Akan tetapi dalam praktik bisnis ritel modern saat ini tidak tertutup kemungkinan, banyak pengecer kecil membeli barang di gerai peritel besar, mengingat perbedaan harga yang muncul pada waktu-waktu promosi tertentu yang dilakukan oleh peritel besar.
Bisnis Ritel di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, ritel modern dan ritel tradisional. Ritel modern sebenarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional, yang pada praktiknya mengaplikasikan konsep yang modern, pemanfaatan teknologi, dan mengakomodasi perkembangan gaya hidup di masyarakat (konsumen).
Jika kita menilik sejarah ritel modern di indonesia sebenarnya sudah di mulai dari tahun 1960-an. Pada saat itu sudah muncul department Store yang pertama yaitu SARINAH. Dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun kemudian, bisnis ritel di Indonesia bisa dikatakan berkembang dalam level yang sangat rendah sekali. Hal ini bisa dikaitkan dengan kebijakan ekonomi Soeharto di awal masa pemerintahan orde baru, yang lebih banyak membangun investasi di bidang eksploitasi hasil alam (tambang & kayu), dibandingkan sektor usaha ritel barang dan jasa di masyarakat.
Awal tahun 1990-an merupakan titik awal perkembangan bisnis ritel di indonesia. Ditandai dengan mulai beroperasinya salah satu perusahaan ritel besar dari Jepang yaitu "SOGO". Selanjutnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 99/1998, yang menghapuskan larangan investor dari luar untuk masuk ke dalam bisnis ritel di indonesia, perkembangannya menjadi semakin pesat.
Saat ini, muncul begitu banyak format modern ritel/market diantaranya adalah sbb:
1. Supermarket
2. Minimarket
3. Hypermarket
4. Specialty store/convinience store
5. Department Store
Modern market digambarkan secara sederhana sebagai suatu tempat menjual barang-barang makanan atau non makanan, barang jadi atau bahan olahan, kebutuhan harian atau lainnya yang menggunakan format self service dan menjalankan sistem swalayan yaitu konsumen membayar di kasir yang telah disediakan. Sehingga saat ini banyak orang cukup familiar dengan istilah "Pasar Swalayan"
Berdasarkan definisi yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 112/Th. 2007, dikatakan bahwa Format Pasar Swalayan dikategorikan sbb:
1. Minimarket :
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.
- Jumlah produk : < 5000 item
- Luas gerai : maks. 400m2
- Area Parkir : terbatas
- Potensi penjualan : maks. 200 juta
2. Supermarket:
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.
- Jumlah produk : 5000-25000 item
- Luas gerai : 400-5000m2
- Area Parkir : sedang (memadai)
- Potensi penjualan : 200 juta- 10 milliar
3. Hypermarket:
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian, textile, fashion, furniture, dll.
- Jumlah produk : >25000 item
- Luas gerai : > 5000 m2
- Area Parkir : sangat besar
- Potensi penjualan : > 10 milliar
Dalam 6 tahun terakhir, perkembangan ketiga format modern market di atas sangatlah tinggi. konsepnya yang modern, adanya sentuhan teknologi dan mampu memenuhi perkembangan gaya hidup konsumen telah memberikan nilai lebih dibandingkan dengan market tradisional.
Selain itu atmosfer belanja yang lebih bersih dan nyaman, semakin menarik konsumen dan dapat menciptakan budaya baru dalam berbelanja.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Media Data-APRINDO dalam rentang waktu 2004 s.d 2008 format minimarket memiliki rata-rata pertumbuhan turnover paling tinggi yaitu sebesar 38% per tahun, disusul kemudian oleh Hypermarket sebesar 21,5% dan supermarket yang hanya 6% per tahun. Tingginya pertumbuhan di format minimarket, ditandai dengan semakin ketatnya persaingan dalam ekspansi atau penambahan jumlah gerai dari dua pemain besar di dalamnya yaitu Indomart dan Alfamart.
Sedangkan dalam nilai turnover yang dapat dihasilkan, format hypermarket merupakan yang terbesar, seperti yang dicapai pada tahun 2008 yaitu sebesar: 41%. Sementara itu minimarket dengan 32%, dan terakhir supermarket dengan 26%. Dominasi market share oleh Hypermarket ini dimulai dari tahun 2005, yang mana sebelumnya dikuasai oleh Supermarket. Penurunan di Supermarket dinilai sebagai akibat dari semakin banyaknya penambahan gerai minimarket yang dapat memotong akses konsumen ke supermarket. Ditambah pula oleh semakin agresifnya Hypermarket dalam berbagai promosi yang kuat dan menarik. Serta kelengkapan produknya telah memberikan tempat tersendiri dimata konsumen.
Secara umum peritel tidak membuat barang dan tidak menjual ke pengecer lain.
Akan tetapi dalam praktik bisnis ritel modern saat ini tidak tertutup kemungkinan, banyak pengecer kecil membeli barang di gerai peritel besar, mengingat perbedaan harga yang muncul pada waktu-waktu promosi tertentu yang dilakukan oleh peritel besar.
Bisnis Ritel di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, ritel modern dan ritel tradisional. Ritel modern sebenarnya merupakan pengembangan dari ritel tradisional, yang pada praktiknya mengaplikasikan konsep yang modern, pemanfaatan teknologi, dan mengakomodasi perkembangan gaya hidup di masyarakat (konsumen).
Jika kita menilik sejarah ritel modern di indonesia sebenarnya sudah di mulai dari tahun 1960-an. Pada saat itu sudah muncul department Store yang pertama yaitu SARINAH. Dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun kemudian, bisnis ritel di Indonesia bisa dikatakan berkembang dalam level yang sangat rendah sekali. Hal ini bisa dikaitkan dengan kebijakan ekonomi Soeharto di awal masa pemerintahan orde baru, yang lebih banyak membangun investasi di bidang eksploitasi hasil alam (tambang & kayu), dibandingkan sektor usaha ritel barang dan jasa di masyarakat.
Awal tahun 1990-an merupakan titik awal perkembangan bisnis ritel di indonesia. Ditandai dengan mulai beroperasinya salah satu perusahaan ritel besar dari Jepang yaitu "SOGO". Selanjutnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 99/1998, yang menghapuskan larangan investor dari luar untuk masuk ke dalam bisnis ritel di indonesia, perkembangannya menjadi semakin pesat.
Saat ini, muncul begitu banyak format modern ritel/market diantaranya adalah sbb:
1. Supermarket
2. Minimarket
3. Hypermarket
4. Specialty store/convinience store
5. Department Store
Modern market digambarkan secara sederhana sebagai suatu tempat menjual barang-barang makanan atau non makanan, barang jadi atau bahan olahan, kebutuhan harian atau lainnya yang menggunakan format self service dan menjalankan sistem swalayan yaitu konsumen membayar di kasir yang telah disediakan. Sehingga saat ini banyak orang cukup familiar dengan istilah "Pasar Swalayan"
Berdasarkan definisi yang tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 112/Th. 2007, dikatakan bahwa Format Pasar Swalayan dikategorikan sbb:
1. Minimarket :
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.
- Jumlah produk : < 5000 item
- Luas gerai : maks. 400m2
- Area Parkir : terbatas
- Potensi penjualan : maks. 200 juta
2. Supermarket:
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian.
- Jumlah produk : 5000-25000 item
- Luas gerai : 400-5000m2
- Area Parkir : sedang (memadai)
- Potensi penjualan : 200 juta- 10 milliar
3. Hypermarket:
- Produk dijual : kebutuhan rumahtangga, makanan dan termasuk kebutuhan harian, textile, fashion, furniture, dll.
- Jumlah produk : >25000 item
- Luas gerai : > 5000 m2
- Area Parkir : sangat besar
- Potensi penjualan : > 10 milliar
Dalam 6 tahun terakhir, perkembangan ketiga format modern market di atas sangatlah tinggi. konsepnya yang modern, adanya sentuhan teknologi dan mampu memenuhi perkembangan gaya hidup konsumen telah memberikan nilai lebih dibandingkan dengan market tradisional.
Selain itu atmosfer belanja yang lebih bersih dan nyaman, semakin menarik konsumen dan dapat menciptakan budaya baru dalam berbelanja.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Media Data-APRINDO dalam rentang waktu 2004 s.d 2008 format minimarket memiliki rata-rata pertumbuhan turnover paling tinggi yaitu sebesar 38% per tahun, disusul kemudian oleh Hypermarket sebesar 21,5% dan supermarket yang hanya 6% per tahun. Tingginya pertumbuhan di format minimarket, ditandai dengan semakin ketatnya persaingan dalam ekspansi atau penambahan jumlah gerai dari dua pemain besar di dalamnya yaitu Indomart dan Alfamart.
Sedangkan dalam nilai turnover yang dapat dihasilkan, format hypermarket merupakan yang terbesar, seperti yang dicapai pada tahun 2008 yaitu sebesar: 41%. Sementara itu minimarket dengan 32%, dan terakhir supermarket dengan 26%. Dominasi market share oleh Hypermarket ini dimulai dari tahun 2005, yang mana sebelumnya dikuasai oleh Supermarket. Penurunan di Supermarket dinilai sebagai akibat dari semakin banyaknya penambahan gerai minimarket yang dapat memotong akses konsumen ke supermarket. Ditambah pula oleh semakin agresifnya Hypermarket dalam berbagai promosi yang kuat dan menarik. Serta kelengkapan produknya telah memberikan tempat tersendiri dimata konsumen.
Subscribe to:
Posts (Atom)