Saya bersyukur karena menjadi salah
seorang yang beruntung, dapat belajar kepada orang-orang yang kompeten dalam
bidang pembelian khususnya industri ritel. Tidak ada manusia yang sempurna,
oleh karenanya penting bagi setiap orang untuk tidak sombong. Karena
kesombongan terkadang menutup kebenaran dan mengurangi kemampuan belajar
seseorang. Sebaliknya rasa rendah hati dan keterbukaan, akan membantu hati dan
otak kita untuk memperoleh banyak pengetahuan baru dari orang lain.
Dalam industri ritel, salah satu area
yang sangat strategis di dalam aspek komersial adalah Merchandising. Secara
umum Merchandising bisa dikatakan sebagai sebuah aktivitas penyediaan dan
pengelolaan barang yang dijual dari segala aspeknya. Aspek yang minimal, cukup
popular dengan istilah 5P yaitu meliputi: P1 (product) barang yang tepat; P2 (price)
harga yang tepat; P3 (presentation)
pemajangan yang baik; P4 (purchase)
pengadaan yang baik; P5 (promotion)
promosi yang efektif.
Karena pengelolaan barang bagi peritel
merupakan bagian dari investasi, maka sangatlah penting untuk menciptakan
keseimbangan dalam unsur-unsur: Pemilihan barang serta vendor yang tepat,
jumlah pembelian dan inventory, tingkat penjualan dan margin yang diperoleh.
Oleh karena proses ini sangat kompleks, detail dan membutuhkan kerjasama
multidisiplin yang kuat, maka setiap peritel bisa dipastikan membangun tim
merchandising sebagai bagian dari tim commercialnya (selain Divisi Operational
dan Marketing yang ada didalamnya)
Ada beberapa istilah yang berbeda yang
digunakan oleh para peritel bagi orang-orang yang ditunjuk dan bertanggung
jawab atas kegiatan merchandising ini. Beberapa peritel menggunakan istilah
Buyer, dan sebagian lainnya banyak yang menggunakan istilah Category Manager.
Secara umum tugas dan fungsinya sebenarnya bisa dikatakan sama. Setiap buyer
atau category manager terbagi ke dalam grup-grup produk yang sudah ditentukan
sesuai dengan kebijakan atau format bisnis ritelnya. Jenis pengelompokan dan
jumlah kategori per orangnya biasanya tidak sama, akan tetapi memiliki
kemiripan satu dengan yang lain.
Khusus dalam lanjutan tulisan saya
ini, saya lebih suka menggunakan istilah Buyer (Manajer Pembelian). Walau makna
harfiah nya cukup sempit dan spesifik, akan tetapi dalam praktek bisnis ritel
yang saya pahami dan alami, peran dan aktivitasnya sangat besar dan kompleks,
serta tentunya berpengaruh luas terhadap kegiatan komersial di perusahaan.
Dalam tulisan ini saya mencoba menuangkan
sebagian pemikiran dan pengalaman saya sebagai Buyer selama lebih dari 7
(tujuh) tahun di salah satu peritel yang bergerak di format Supermarket.
Pengalaman ini begitu berkesan karena saya belajar banyak hal terkait bisnis
ritel, proses pemilihan barang, pengelolaan produk, penentuan harga, pemajangan
produk, serta menjalin kerjasama bisnis dengan berbagai pihak supplier. Di dua
tahun terakhir saya memiliki kesempatan berharga terlibat penuh dalam
development produk-produk private brand.
Melalui interaksi saya yang sangat
dalam dan panjang dengan senior-senior professional Buyer, telah memberikan
nilai lebih yang cukup banyak buat saya. Saya belajar banyak bukan hanya dari
sisi pengetahuan dan pengalaman mereka, akan tetapi lebih dari itu, ada
karakter dan gaya yang unik atau khas dapat dipelajari dari masing-masing
Buyer. Saya menilai tidak ada benar-salah dari perbedaan tersebut, karena
masing-masing memiliki daya kekuatannya tersendiri. Kita bisa kombinasikan
style dan pendekatan (approach) mereka yang beragam dalam banyak hal.
Dari pengalaman dan pembelajaran
tersebut, saya mencoba merangkum dan berbagi beberapa prinsip dasar yang akan sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang profesional Buyer ritel/manajer pembelian, yaitu sbb:
1. Integritas.
2. Wawasan Luas.
3. Fleksibilitas (Luwes)
4. Kemampuan pengelolaan dan analisa Data.
5. Kemampuan Komunikasi dan Presentasi.
1. Integritas.
Saya menempatkan Integritas ini di
tempat pertama, karena keyakinan saya bahwa value dari unsur ini sangat tidak
ternilai dan merupakan fondasi. Integritas sangat penting untuk menciptakan
kepercayaan yang kuat baik secara internal maupun eksternal. Kita harus
menciptakan karakter dan pola fikir yang obyektif dan transparan. Perspektif
kerja kita adalah memberikan keuntungan yang maksimal untuk perusahaan, tanpa
ada agenda Pribadi memanfaatkan keuntungan posisi kita sebagai Buyer.
Biasanya posisi Buyer sangat vital,
karena ia merupakan perwakilan perusahaan untuk melakukan aktivitas pemilihan
barang dan vendor. Selain itu kegiatan pembelian, di wilayah manapun selalu
kaya akan privilage (keistimewaan tertentu) dan rawan akan tawaran benefit
tertentu dari para penjual/supplier. Disinilah pentingnya posisi kita yang
harus taat terhadap aturan perusahaan terkait masalah hubungan pembeli dan
penjual ini.
Tidak jarang para professional
terjebak pada kondisi atau tawaran tersebut. Tapi biasanya dalam organisasi
ritel yang sudah mapan, segalanya diatur dalam bentuk aturan dan kode etik,
serta sanksi yang tegas. Transparansi dan integritas
Buyer akan menaikan
reputasi perusahaan dan memperkuat kwalitas negosiasi setiap Buyer.
Selain aspek tranparansi, integritas
menunjukan kemampuan kita untuk menciptakan komitmen bersama. Dalam proses
negosiasi, Buyer dengan mitra supplier, maka diperlukan sebuah komitmen bersama
untuk menjalankan setiap kesepakatan. Tidak sedikit karena minimnya integritas,
tujuan dari negosiasi tidak tercapai, dan berakhir dengan retaknya hubungan
bisnis.
Ciri-ciri Buyer yang memiliki
integritas, tercermin dari beberapa sikap yang menonjol
a.
Selalu mengedepankan objektif dari perusahaan, bukan pribadinya sebagai Buyer.
b.
Menuliskan setiap kesepakatan, dan menjelaskan setiap komitmen kedua pihak
secara jelas dan detail.
c.
Tidak meminta imbalan Pribadi, dan seluruh potensi keuntungan akan dia gali
untuk kemajuan perusahaan.
d.
Bertindak dan bernegosiasi berlandaskan kode etik perusahaan dimana dia
bekerja.
2. Berwawasan Luas.
Kegiatan utama dari Setiap pembeli (Buyer) dalam industri ritel tentunya tidak
bisa dilepaskan dari kegiatan analisa data penjualan dan keuntungan, memilih
produk, menentukan harga, survey market, serta negosiasi dengan pihak vendor.
Oleh karena itu diperlukan sinergi kemampuan analisa data yang kuat dan wawasan
tentang dunia bisnis ritel serta industri secara umum. Wawasan seorang Buyer
harus senantiasa terupdate dan di atas rata-rata. Setiap Buyer harus punya
interest yang kuat terhadap informasi perkembangan bisnis dan segala
dinamikanya. Dia akan gunakan wawasan tersebut untuk mengembangkan ide dan
menangkap peluang di pasar, demi peningkatan penjualan serta marjin keuntungan
semua produknya.
Selain untuk kebutuhan analisa
Pribadi, seperti halnya peran seorang salesman dalam dunia marketing, untuk
meyakinkan mitra dari pihak supplier maupun konsumen, Buyer menggunakan
informasi dan wawasan tersebut sebagai alat/strategi negosiasi yang meyakinkan.
Karena untuk meyakinkan orang tidak cukup dengan bahasa keuntungan peritel.
Terkadang dengan informasi yang berkembang di luar, kita dapat meyakinkan lawan
negosiasi kita untuk mengikuti saran ataupun masukan yang akhirnya memberikan
peluang keuntungan kedua belah pihak.
Sebagai contoh beberapa pertanyaan
yang relevan untuk menguji wawasan Buyer:
a.
Bagaimana pengetahuan kita terhadap dinamika market dan kompetisi?
b.
Bagaimana pengaruh regulasi pemerintah terhadap kelangsungan bisnis perusahaan
anda?
c.
Trend produk baru apa saja yang sedang booming di pasaran? Tahukah kita
strategi atau kunci sukses mereka?
d.
Tahukah anda situasi makro ekonomi secara lokal/nasional maupun dunia yang
dapat mempengarui bisnis anda? (Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, Nilai tukar mata
uang, perkembangan harga produk, upah minimum, sewa property, dll)
3. Fleksibilitas
Prinsipnya sebagai Buyer harus
memiliki orientasi pada solusi bisnis yang saling menguntungkan. Karena kondisi
tersebut akan memberikan dampak positif bagi perkembangan penjualan. Dalam
konteks negosiasi dan segala praktek kerjasama bisnis diperlukan fleksibilitas
atau keluwesan dalam mencari solusi-solusi tersebut.
Dalam pengalaman saya di awal karir
sebagai seorang Buyer Supermarket, sikap fleksibel/luwes ini begitu terasa diperlukan. Terutama dalam
proses negosiasi dengan posisi tawar yang rendah. Biasanya kondisi ini terjadi
dikarenakan beberapa hal dapat menjadi contoh:
1.
Principle besar
2.
Lawan Negosiasi yang lebih senior
3.
Kebijakan perusahaan yang kaku.
4.
Tenggat waktu negosiasi yang sempit.
4. Kemampuan Analisa dan pengelolaan Data.
Data merupakan senjata utama bagi seorang
Buyer. Dengan menguasai Data maka kita akan mengetahui posisi awal negosiasi,
subject negosiasi, dan proyeksi output atau target dari negosiasi yang akan
kita lakukan. Buyer yang datang ke dalam sebuah meeting tanpa membuat data dan
menguasainya, ibaratkan seorang prajurit masuk ke medan perang dengan lengan
kosong. Ia akan menjadi santapan lawan negosiasinya.
Keinginan dan passion seorang Buyer
terhadap data haruslan tinggi. Ibaratkan seorang montir, dia harus siap
tangannya kotor dengan oli atau kotoran pada mesin. Begitu juga seorang Buyer
yang tugas utamanya mengelola hubungan bisnis yang penuh dengan kegiatan
negosiasi. Membuat dan menganalisa data menjadi satu kunci utama untuk bisa
sukses. Secara ekstrem saya menganjurkan kepada semua yang ingin menjadi Buyer,
agar “mencintai data”.
Beberapa perusahaan memang sudah
memiliki database yang mumpuni, sehingga Buyer atau tim komersial lain
dimanjakan dengan berbagai data yang dibutuhk2 pokok, sudah bisa dikumpulkan
dan disusun secaran. Bahkan dataAkan tetapi masih cukup banyak yang mandiri
oleh Buyer nya sesuai dengan format yang diinginkan.
Data-data yang biasanya secara umum
diperlukan oleh seorang Buyer diantaranya adalah:
1.
Trend pembelian (quantity dan value)
2.
Service level pengiriman barang
3.
Daftar produk existing
4.
Trend penjualan (quantity dan value)
5.
Penggunaan/Rencana alokasi dana promosi.
6.
market share
7. Permasalahan lainnya.
Selain pengelolaan data, yang juga
tidak kalah pentingnya adalah mengasah kemampuan analisa data. Data ditangan
seorang yang tak mampu, tidak akan berarti apa-apa. Kemampuan menganalisa ini
memang tidak akan muncul dengan sendirinya. Tapi ada proses yang panjang, tapi
dengan keseriusan dan ketekunan dalam menyusun dan mendiskusikan aneka konklusi dari
beragam data yang dimiliki maka setiap orang pasti akan terbiasa. Makanya ada
istilah “data harus berbicara”. Seorang Buyer menggunakan data-data tersebut
untuk mempengaruhi lawan negosiasi agar mencapai kesepakatan tertentu. Yang
akhirnya tentunya tetap pada koridor kepentingan bisnis bersama.
5. Kemampuan Komunikasi dan Presentasi.
Dalam seleksi awal seseorang untuk
menjadi seorang Buyer, kemampuan komunikasi yang baik menjadi salah satu syarat
mutlak yang harus dimiliki. Seseorang yang cenderung bekerja sendiri dan tidak
terlalu menyukai interaksi yang intens dengan pihak lain tidak cocok menjadi
seorang Buyer. Kemampuan komunikasi ini bisa merupakan interpersonal skill.
Umumnya karakter seorang Buyer itu
sangat aktif, penuh inisatif, banyak ide dan gagasan, suka bertanya dan senang
meyakinkan lawan bicaranya (cenderng agresif). Istilah yang agak berlebih,
mungkin adalah seringkali “tidak tahu malu” dalam bernegosiasi. Lawan yang
sepadan dengan profesi ini adalah Salesman, yang tidak punya malu dan tak lelah
menawarkan barang dagangannya. Walaupun ada, sangat jarang menemukan Buyer itu
seorang pendiam dan pasif.
Secara sederhana saya suka
ilustrasikan jika seorang pembeli datang ke suatu pasar, untuk membeli sesuatu,
pastinya ia harus siap untuk bertanya dan menawar. Ia harus siap dibenci
penjual dan terkadang muncul konflik tertentu yang kurang memberikan rasa
nyaman.Tapi itu sudah biasa dalam dunia negosiasi. Tanpa melalui cara berbicara
yang baik dan tepat, pembeli tidak akan mendapatkan barang yang baik, harga
yang bagus dan kompensasi lainnya dari si penjual.
Selain kemampuan komunikasi, seorang
Buyer juga harus memiliki kemampuan presentasi yang baik. Ia harus mampu
menjelaskan tujuan dan keinginannya dalam berbagai kesempatan, baik kepada
pihak eksternal maupun internal. Dalam presentasi terkandung data, program,
target dan berbagai rencana. Semua serba terstruktur. Ini sangat penting,
karena tidak sedikit Buyer-buyer kalah canggih presentasinya dibandingkan
manajer2 dari lawan negosiasinya yaitu para Sales Manajer/Key Account Manager.
Alangah lebih baiknya Buyer yang akan mengarahkan segala program yang
diperlukan, karena dalam hal ini peritel lebih tahu kondisi konsumennya
dibanding para supplier.